Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
A.
Membangun
Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1.
Dinamika
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika
sebagai berikut. Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem
filsafat dikenal dengan istilah “Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut
merupakan perenungan filosofis Soekarno atas rencananya berdirinya negara
Indonesia merdeka. Ide tersebut dimaksudkan sebagai dasar kerohanian bagi
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Ide tersebut ternyata mendapat sambutan
yang positif dari berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama,
persisnya pada 1 Juni 1945. Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum
diuraikan secara rinci, lebih merupakan adagium politik untuk menarik perhatian
anggota sidang, dan bersifat teoritis. Pada masa itu, Soekarno lebih 169
menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari
akulturasi budaya bangsa Indonesia.
Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem
filsafat berkembang ke arah yang lebih praktis (dalam hal ini istilah yang
lebih tepat adalah weltanschauung). Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya
bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai
pedoman hidup sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem
filsafat Pancasila menjadi penataran P-4.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat
kurang terdengar resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema
dalam wacana akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh
Habibie dalam pidato 1 Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa:
“Pancasila
seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan
untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari
memori kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip,
dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun
kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di
tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitik” (Habibie, 2011: 1--2).
2. Tantangan Pancasila
sebagai Sistem Filsafat
Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai
sistem filsafat muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
Pertama,
kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan individual pemilik
modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih keuntungan
sebesar-besarnya merupakan upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Salah satu
bentuk tantangan kapitalisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah
meletakkan kebebasan individual secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif, seperti monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan
lain-lain.
Kedua,
komunisme adalah sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas perkembangan
kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme merupakan aliran yang
meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat
secara merata. Salah satu bentuk tantangan komunisme terhadap Pancasila sebagai
sistem filsafat ialah 170 dominasi negara yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan
peran rakyat dalam kehidupan bernegara.
B.
Mendeskripsikan
Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Esensi (hakikat)
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Hakikat
(esensi) Pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama;
hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai prinsip utama dalam kehidupan semua makhluk. Artinya, setiap makhluk
hidup, termasuk warga negara harus memiliki kesadaran yang otonom (kebebasan,
kemandirian) di satu pihak, dan berkesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa yang akan dimintai pertanggungjawaban atas semua tindakan yang dilakukan.
Artinya, kebebasan selalu dihadapkan pada tanggung jawab, dan tanggung jawab
tertinggi adalah kepada Sang Pencipta.
Kedua;
hakikat sila kemanusiaan adalah manusia monopluralis, yang terdiri atas 3
monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu,
sosial), kedudukan kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan)
(Notonagoro).
Ketiga,
hakikat sila persatuan terkait dengan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan
terwujud dalam bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu
tanah air real, tanah air formal, dan tanah air mental.
Keempat,
hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah. Artinya, keputusan
yang diambil lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan
membenarkan begitu saja pendapat mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.
Kelima,
hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan distributif,
legal, dan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat membagi
dari negara kepada warga negara. Keadilan legal adalah kewajiban warga negara
terhadap negara atau dinamakan keadilan bertaat. Keadilan komutatif adalah
keadilan antara sesama warga negara (Notonagoro dalam Kaelan, 2013: 402).
2. Urgensi Pancasila
sebagai Sistem Filsafat
Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan
Pancasila sebagai sistem filsafat meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama,
meletakkan Pancasila sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga merdeka
dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara
materiil maupun spiritual. Kedua, Pancasila sebagai sistem filsafat membangun
alam pemikiran yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri
sehingga mampu dalam menghadapi berbagai ideologi dunia. Ketiga, Pancasila
sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi tantangan
globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan
sendi-sendi perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.
Keempat, Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus
way of thinking bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi
antara tindakan dan pemikiran. Bahaya yang ditimbulkan kehidupan modern dewasa
ini adalah ketidakseimbangan antara cara bertindak dan cara berpikir sehingga
menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu bangsa.
R.
SANRIA PRASETYO
UNIVERSITAS
MUHADI SETIABUDI
Komentar
Posting Komentar