Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Negara
A.
Membangun Argumen tentang Dinamika
dan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Negara
1. Argumen
tentang Dinamika Pancasila
Pancasila sebagai dasar
negara lahir dan berkembang melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada
mulanya, adat istiadat dan agama menjadi kekuatan yang membentuk adanya
pandangan hidup. Setelah Soekarno menggali kembali nilai-nilai luhur budaya
Indonesia, pada 1 Juni 1945 barulah Pancasila disuarakan menjadi dasar negara
yang diresmikan pada 18 Agustus 1945 dengan dimasukkannya sila-sila Pancasila
dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan
bersumberkan budaya, adat istiadat, dan agama sebagai tonggaknya, nilai-nilai
Pancasila diyakini kebenarannya dan senantiasa melekat dalam kehidupan bangsa
dan negara Indonesia.
Pada saat berdirinya
negara Republik Indonesia yang ditandai dengan dibacakannya teks proklamasi
pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia sepakat pengaturan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Namun, sejak November 1945 sampai menjelang ditetapkannya Dekrit Presiden pada
5 Juli 1959, pemerintah Indonesia mempraktikkan sistem demokrasi liberal.
Setelah dilaksanakan
Dekrit Presiden, Indonesia kembali diganggu dengan munculnya paham lain. Pada saat
itu, sistem demokrasi liberal ditinggalkan, perdebatan tentang dasar negara di
Konstituante berakhir dan kedudukan Pancasila di perkuat, tetapi keadaan
tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang menghendaki berkembangnya paham haluan
kiri (komunis). Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan G30S PKI 1965.
Peristiwa ini menjadi pemicu berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno yang
digantikan oleh pemerintahan Presiden Soeharto.
Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto, ditegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara akan
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Menyusul kemudian diterbitkan
Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P-4). Namun, pemerintahan Presiden Soeharto pun akhirnya dianggap
menyimpang dari 91 garis politik Pancasila dan UUD 1945. Beliau dianggap
cenderung melakukan praktik liberalisme-kapitalisme dalam mengelola negara.
Pada tahun 1998 muncul
gerakan reformasi yang mengakibatkan Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari
jabatan Presiden. Namun, sampai saat ini nampaknya reformasi belum membawa
angin segar bagi dihayati dan diamalkannya Pancasila secara konsekuen oleh
seluruh elemen bangsa. Hal ini dapat dilihat dari abainya para politisi
terhadap fatsoen politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan perilaku
anarkis segelintir masyarakat yang suka memaksakan kehendak kepada pihak lain.
Pada tahun 2004 sampai
sekarang, berkembang gerakan para akademisi dan pemerhati serta pencinta
Pancasila yang kembali menyuarakan Pancasila sebagai dasar negara melalui
berbagai kegiatan seminar dan kongres. Hal tersebut ditujukan untuk
mengembalikan eksistensi Pancasila dan membudayakan nilai-nilai Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa serta menegaskan Pancasila sebagai dasar negara
guna menjadi sumber hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
2. Argumen
tentang Tantangan terhadap Pancasila
Pada era globalisasi
dewasa ini, banyak hal yang akan merusak mental dan nilai moral Pancasila yang
menjadi kebanggaan bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, Indonesia
perlu waspada dan berupaya agar ketahanan mental-ideologi bangsa Indonesia
tidak tergerus. Pancasila harus senantiasa menjadi benteng moral dalam menjawab
tantangan-tantangan terhadap unsur-unsur kehidupan bernegara, yaitu sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Tantangan yang muncul,
antara lain berasal dari derasnya arus paham-paham yang bersandar pada otoritas
materi, seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, sekularisme, pragmatisme,
dan hedonisme, yang menggerus kepribadian bangsa yang berkarakter nilai-nilai
Pancasila. Hal inipun dapat dilihat dengan jelas, betapa paham-paham tersebut
telah merasuk jauh dalam kehidupan bangsa Indonesia sehingga melupakan kultur
bangsa Indonesia yang memiliki sifat religius, santun, dan gotong-royong.
Apabila ditarik benang
merah terkait dengan tantangan yang melanda bangsa Indonesia sebagaimana
tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Dilihat dari kehidupan masyarakat,
terjadi kegamangan dalam kehidupan bernegara dalam era reformasi ini karena
perubahan sistem pemerintahan yang begitu cepat termasuk digulirkannya otonomi
daerah yang seluasluasnya, di satu pihak, dan di pihak lain, masyarakat merasa
bebas tanpa tuntutan nilai dan norma dalam kehidupan bernegara. Akibatnya, sering
ditemukan perilaku anarkisme yang dilakukan oleh elemen masyarakat terhadap
fasilitas publik dan aset milik masyarakat lainnya yang dipandang tidak cocok
dengan paham yang dianutnya. Masyarakat menjadi beringas karena code of conduct
yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila mengalami degradasi. Selain itu,
kondisi euforia politik tersebut dapat memperlemah integrasi nasional.
b. Dalam bidang pemerintahan, banyak
muncul di ranah publik aparatur pemerintahan, baik sipil maupun militer yang
kurang mencerminkan jiwa kenegarawanan. Terdapat fenomena perilaku aparatur
yang aji mumpung atau mementingkan kepentingan kelompoknya saja. Hal tersebut
perlu segera dicegah dengan cara meningkatkan efektivitas penegakan hukum 93
dan melakukan upaya secara masif serta sistematis dalam membudayakan
nilai-nilai Pancasila bagi para aparatur negara.\
B. Mendeskripsikan
Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
1. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai
Dasar Negara
a. Esensi Pancasila sebagai Dasar Negara
Sebagaimana dipahami
bahwa Pancasila secara legal formal telah diterima dan ditetapkan menjadi dasar
dan ideologi negara Indonesia sejak 18 Agustus 1945. Penerimaan Pancasila
sebagai dasar negara merupakan milik bersama akan memudahkan semua stakeholder bangsa
dalam membangun negara berdasar prinsip-prinsip konstitusional.
Mahfud M.D. (2009:
16--17) menegaskan bahwa penerimaan Pancasila sebagai dasar negara membawa
konsekuensi diterima dan berlakunya kaidah-kaidah penuntun dalam pembuatan
kebijakan negara, terutama dalam politik hukum nasional. Lebih lanjut, Mahfud
M.D. menyatakan bahwa dari Pancasila dasar negara itulah lahir
sekurang-kurangnya 4 kaidah penuntun 94 dalam pembuatan politik hukum atau
kebijakan negara lainnya, yaitu sebagai berikut:
1) Kebijakan umum dan
politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa, baik secara
ideologi maupun secara teritori.
2) Kebijakan umum dan
politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun demokrasi (kedaulatan
rakyat) dan nomokrasi (negara hukum) sekaligus.
3) Kebijakan umum dan
politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Indonesia bukanlah penganut liberalisme, melainkan
secara ideologis menganut prismatika antara individualisme dan kolektivisme
dengan titik berat pada kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
4) Kebijakan umum dan
politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang
berkeadaban. Indonesia bukan negara agama sehingga tidak boleh melahirkan
kebijakan atau politik hukum yang berdasar atau didominasi oleh satu agama
tertentu atas nama apapun, tetapi Indonesia juga bukan negara sekuler yang
hampa agama sehingga setiap kebijakan atau politik hukumnya haruslah dijiwai
oleh ajaran berbagai agama yang bertujuan mulia bagi kemanusiaan.
b. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
Soekarno melukiskan
urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia secara ringkas tetapi meyakinkan,
sebagai berikut:
Pancasila adalah
Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu
bangsa yang juga pada hakikatnya satu alat mempersatukan dalam perjuangan
melenyapkan segala penyakit yang telah dilawan berpuluh-puluh tahun, yaitu
terutama imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan
imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang
membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama.
Tiap-tiap bangsa mempunyai cara perjuangan sendiri, mempunyai karakteristik
sendiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai
kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam
kenyataannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya
(Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, 2013: 94-95).
R. SANRIA PRASETYO
UNIVERSITAS
MUHADI SETIABUDI
Komentar
Posting Komentar