Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
a.
Apa yang dimaksudkan dengan sistem filsafat
Pengertian filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung
mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh para ahli filsafat,
lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang mendalam dari eksistensi manusia
(Titus, Smith & Nolan, 1984: 13).
Noor Bakry menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat
merupakan hasil perenungan yang mendalam dari para tokoh kenegaraan Indonesia.
Hasil perenungan itu semula dimaksudkan untuk merumuskan dasar negara yang akan
merdeka. Selain itu, hasil perenungan tersebut merupakan suatu sistem filsafat
karena telah memenuhi ciri-ciri berpikir kefilsafatan.
b.
Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pertama, manusia telah
memperoleh kekuatan baru yang besar dalam sains dan teknologi, telah
mengembangkan bermacam-macam teknik untuk memperoleh ketenteraman (security)
dan kenikmatan (comfort). Akan tetapi, pada waktu yang sama manusia merasa
tidak tenteram dan gelisah karena mereka tidak tahu dengan pasti makna hidup
mereka dan arah harus tempuh dalam kehidupan mereka. Kedua, filsafat melalui
kerjasama dengan disiplin ilmu lain memainkan peran yang sangat penting untuk
membimbing manusia kepada keinginan-keinginan dan aspirasi mereka. (Titus,
1984: 24).
B. Menanya Alasan Diperlukannya Kajian
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1.
Filsafat
Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus
Pancasila sebagai
genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai objek
yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang
filsafat yang berkembang di Barat. Misalnya, Notonagoro menganalisis
nilai-nilai Pancasila berdasarkan pendekatan substansialistik filsafat Aristoteles sebagaimana yang
terdapat dalam karyanya yang berjudul Pancasila Ilmiah Populer. Adapun
Drijarkara menyoroti nilai-nilai Pancasila dari pendekatan eksistensialisme
religious sebagaimana yang diungkapkannya dalam tulisan yang berjudul Pancasila
dan Religi.
2.
Landasan
Ontologis Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai
Genetivus Subjectivus memerlukan landasan pijak filosofis yang kuat yang
mencakup tiga dimensi, yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan
landasan aksiologis. Pernahkah Anda mendengar istilah ”ontologi”? Ontologi
menurut Aritoteles merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat
segala yang ada secara umum sehingga dapat dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu
yang membahas sesuatu secara khusus. Ontologi membahas tentang hakikat yang
paling dalam dari sesuatu yang ada, yaitu unsur yang paling umum dan bersifat
abstrak, disebut juga dengan istilah substansi. Inti persoalan ontologi adalah
menganalisis tentang substansi (Taylor, 1955: 42). Substansi menurut Kamus
Latin – Indonesia, berasal dari bahasa Latin “substare” artinya serentak ada,
bertahan, ada dalam kenyataan. Substantialitas artinya sesuatu yang berdiri
sendiri, hal berada, wujud, hal wujud (Verhoeven dan Carvallo, 1969: 1256).
3.
Landasan
Epistemologis Filsafat Pancasila
Pernahkah Anda mendengar
istilah “epistemologi”? Istilah tersebut terkait dengan sarana dan sumber
pengetahuan (knowledge). Epistemologi adalah cabang filsafat pengetahuan yang
membahas tentang sifat dasar pengetahuan, kemungkinan, lingkup, dan dasar umum
pengetahuan (Bahm, 1995: 5). Epistemologi terkait dengan pengetahuan yang
bersifat sui generis, berhubungan dengan sesuatu yang paling sederhana dan
paling mendasar (Hardono Hadi, 1994: 23). Littlejohn and Foss menyatakan bahwa
epistemologi merupakan cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau
bagaimana orang-orang dapat mengetahui tentang sesuatu atau apa-apa yang mereka
ketahui. Mereka mengemukakan beberapa persoalan paling umum dalam epistemologi
sebagai berikut: (1) pada tingkatan apa pengetahuan dapat muncul sebelum
pengalaman? (2) pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang
pasti? (Littlejohn and Foss, 2008: 24).
4.
Landasan
Aksiologis Pancasila
Pernahkah Anda mendengar
istilah “aksiologi”? Kalau belum pernah, maka satu hal yang perlu Anda ketahui
bahwasanya istilah “aksiologis” terkait dengan masalah nilai (value). The study
of the theory of values is axiology (Gr. Axios, of like value + logos, theory).
Pure axiology is the study of values of all types. (Hunnex, 1986: 22). Frondizi
(2001:7) menegaskan bahwa nilai itu merupakan kualitas yang tidak real karena
nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, ia membutuhkan pengemban untuk
berada.
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis,
Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1.
Sumber
Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak zaman purbakala
hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah
melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad
pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen.
Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan
dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam
agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik
tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama memiliki peranan sentral
dalam pendefinisian institusi-institusi sosial (Yudi-Latif, 2011: 57--59).
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat
Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam
menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah
menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu
membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan
istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemanjuran konsepsi
internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan
ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia, tampak jelas bahwa sila
kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas
kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang
memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada
penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, 158 perdamaian, dan keadilan sosial
serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan
Indonesia (Yudi-Latif, 2011: 201).
c. Sila Persatuan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia
merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan kesilaman.
Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan
sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik
kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi
warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi.
Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia
pernah menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada alasan bagi manusia baru
Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Yudi-Latif, 2011:377).
d. Sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat memang merupakan
fenomena baru di Indonesia, yang muncul sebagai ikutan formasi negara republik
Indonesia merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia
adalah kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun
demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam
budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti
desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya.
Tan Malaka mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di
alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada
keadilan dan kepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi
demokrasi di Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan
raja yang tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak
disenangi (Yudi-Latif, 2011: 387--388).
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Masyarakat adil dan
makmur adalah impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam
dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagian itu terpahat dalam ungkapan
“Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat
yang adil dan makmur itu, 159 para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya
untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia
dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini
kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011: 493--494).
2.
Sumber
Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Sumber sosiologis
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok.
Kelompok pertama, masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem
filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dalam bentuk pandangan hidup,
Way of life yang terdapat dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku
bangsa di Indonesia. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami
Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis.
3.
Sumber
Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada awalnya, Pancasila
merupakan konsensus politik yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat.
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kelompok. Kelompok pertama, 162 meliputi wacana politis tentang
Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah
umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959, tentang pembahasan sila-sila
Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen politis
tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan kembali di era
reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni 2011.
R. SANRIA PRASETYO
UNIVERSITAS
MUHADI SETIABUDI
Komentar
Posting Komentar