SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIK, DINAMIKA, TANTANGAN, ESENSI
SUMBER
HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIK, DINAMIKA,
TANTANGAN,
ESENSI
1.
Sumber Historis Pendidikan Pancasila
Presiden
Soekarno pernah mengatakan, ”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi penting dalam
membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa depan. Hal tersebut
sejalan dengan ungkapan seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43SM)
yang mengungkapkan, “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “Sejarah memberikan
kearifan”. Pengertian lain dari istilah tersebut yang sudah menjadi pendapat
umum (common-sense) adalah “Sejarah merupakan guru kehidupan”. Implikasinya,
pengayaan materi perkuliahan Pancasila melalui pendekatan historis adalah amat
penting dan tidak boleh dianggap remeh guna mewujudkan kejayaan bangsa di
kemudian hari. Melalui pendekatan ini, mahasiswa diharapkan dapat mengambil
pelajaran atau hikmah dari berbagai peristiwa sejarah, baik sejarah nasional
maupun sejarah bangsa-bangsa lain. Dengan pendekatan historis, Anda diharapkan
akan memperoleh inspirasi untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa sesuai
dengan program studi masing-masing. Selain itu, Anda juga dapat berperan serta
secara aktif dan arif dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
dapat berusaha menghindari perilaku yang bernuansa mengulangi kembali kesalahan
sejarah.
2.
Sumber Sosiologis Pendidikan
Pancasila
Sosiologi
dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di dalamnya mengkaji,
antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai
golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga mengkaji masalah-masalah
sosial, perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat. Soekanto (1982:19)
menegaskan bahwa dalam perspektif sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu
dan tempat memiliki nilai-nilai yang tertentu. Melalui pendekatan sosiologis
ini pula, Anda diharapkan dapat mengkaji struktur sosial, proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial, dan masalah-masalah sosial yang patut
disikapi secara arif dengan menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada
nilai-nilai Pancasila.
3.
Sumber Yuridis Pendidikan Pancasila
Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan salah satu cirinya
atau istilah yang bernuansa bersinonim, yaitu pemerintahan berdasarkan hukum
(rule of law). Pancasila sebagai dasar negara merupakan landasan dan sumber
dalam membentuk dan menyelenggarakan negarahukum tersebut. Hal tersebut berarti
pendekatan yuridis (hukum) merupakan salah satu pendekatan utama dalam pengembangan
atau pengayaan materi mata kuliah pendidikan Pancasila. Urgensi pendekatan
yuridis ini adalah dalam rangka menegakkan Undang-Undang (law enforcement) yang
merupakan salah satu kewajiban negara yang penting. Penegakan hukum ini hanya
akan efektif, apabila didukung oleh kesadaran hukum warga negara terutama dari
kalangan intelektualnya. Dengan demikian, pada gilirannya melalui pendekatan
yuridis tersebut mahasiswa dapat berperan serta dalam mewujudkan negara hukum
formal dan sekaligus negara hukum material sehingga dapat diwujudkan
keteraturan sosial (social order) dan sekaligus terbangun suatu kondisi bagi
terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan
oleh para pendiri bangsa. Kesadaran hukum tidak semata-mata mencakup hukum
perdata dan pidana, tetapi juga hukum tata negara. Ketiganya membutuhkan
sosialisasi yang seimbang di seluruh kalangan masyarakat, sehingga setiap warga
negara mengetahui hak dan kewajibannya. Selama ini sebagian masyarakat masih
lebih banyak menuntut haknya, namun melalaikan kewajibannya. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban akan melahirkan kehidupan yang harmonis sebagai bentuk
tujuan negera mencapai masyarakat adil dan Makmur.
4.
Sumber Politik Pendidikan Pancasila
Salah
satu sumber pengayaan materi pendidikan Pancasila adalah berasal dari fenomena
kehidupan politik bangsa Indonesia. Tujuannya agar Anda mampu mendiagnosa dan
mampu memformulasikan saran-saran tentang upaya atau usaha mewujudkan kehidupan
politik yang ideal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bukankah Pancasila
dalam tataran tertentu merupakan ideologi politik, yaitu mengandung nilai-nilai
yang menjadi kaidah penuntun dalam mewujudkan tata tertib sosial politik yang
ideal.
Melalui
pendekatan politik ini, Anda diharapkan mampu menafsirkan fenomena politik
dalam rangka menemukan pedoman yang bersifat moral yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan kehidupan politik yang sehat. Pada
gilirannya, Anda akan mampu memberikan kontribusi konstruktif dalam menciptakan
struktur politik yang stabil dan dinamis. Secara spesifik, fokus kajian melalui
pendekatan politik tersebut, yaitu menemukan nilai-nilai ideal yang menjadi
kaidah penuntun atau pedoman dalam mengkaji konsep-konsep pokok dalam politik
yang meliputi negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), kebijakan (policy), dan pembagian (distribution) sumber daya
negara, baik di pusat maupun di daerah. Melalui kajian tersebut, Anda
diharapkan lebih termotivasi berpartisipasi memberikan masukan konstruktif,
baik kepada infrastruktur politik maupun suprastruktur politik.
5.
Dinamika Pendidikan Pancasila
Sebagaimana
diketahui, pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dalam
pengimplementasiannya. Apabila ditelusuri secara historis, upaya pembudayaan
atau pewarisan nilai-nilai Pancasila tersebut telah secara konsisten dilakukan
sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang. Namun, bentuk dan intensitasnya
berbeda dari zaman ke zaman. Pada masa awal kemerdekaan, pembudayaan
nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh bangsa
dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar. Kemudian,
pada 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung Karno tentang
Lahirnya Pancasila. Buku tersebut disertai kata pengantar dari Dr. K.R.T.
Radjiman Wedyodiningrat yang sebagaimana diketahui sebelumnya, beliau menjadi
Kaitjoo (Ketua) Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan).
Perubahan
yang signifikan dalam metode pembudayaan/pendidikan Pancasila adalah setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 1960, diterbitkan buku oleh Departemen P dan
K, dengan judul Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics). Buku tersebut
diterbitkan dengan maksud membentuk manusia Indonesia baru yang patriotik
melalui pendidikan. Selain itu, terbit pula buku yang berjudul Penetapan Tudjuh
Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, pada tahun 1961, dengan penerbit CV Dua-R, yang
dibubuhi kata pengantar dari Presiden Republik Indonesia. Buku tersebut
nampaknya lebih ditujukan untuk masyarakat umum dan aparatur negara.
Tidak
lama sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978, tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetia Pancakarsa, P-4
tersebut kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi Pendidikan Pancasila.
Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN yang
mencantumkan bahwa “Pendidikan Pancasila” termasuk Pendidikan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Dalam
rangka menyempurnakan perkuliahan pendidikan Pancasila yang digolongkan dalam
mata kuliah dasar umum di perguruan tinggi, Dirjen Dikti, menerbitkan SK, Nomor
25/DIKTI/KEP/1985, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum
(MKDU). Sebelumnya, Dirjen Dikti telah mengeluarkan SK tertanggal 5 Desember
1983, Nomor 86/DIKTI/Kep/1983, tentang Pelaksanaan Penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pola Seratus Jam di Perguruan Tinggi.
Kemudian, dilengkapi dengan SK Kepala BP-7 Pusat tanggal 2 Januari 1984, Nomor
KEP/01/BP-7/I/1984, tentang Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa
Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta, menyusul kemudian
diterbitkan SK tanggal 13 April 1984, No. KEP-24/BP-7/IV/1984, tentang Pedoman
Penyusunan Materi Khusus sesuai Bidang Ilmu yang Diasuh Fakultas/Akademi dalam
Rangka Penyelenggaraan Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru
Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta.
Dampak
dari beberapa kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan Penataran P-4 tersebut,
terdapat beberapa perguruan tinggi terutama perguruan tinggi swasta yang tidak
mampu menyelenggarakan penataran P-4 Pola 100 jam sehingga tetap
menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila dengan atau tanpa penataran
P-4 pola 45 jam. Di lain pihak, terdapat pula beberapa perguruan tinggi negeri
maupun swasta yang menyelenggarakan penataran P-4 pola 100 jam bersamaan dengan
itu juga melaksanakan mata kuliah pendidikan Pancasila.
Dalam
era kepemimpinan Presiden Soeharto, terbit Instruksi Direktur Jenderal
Perguruan Tinggi, nomor 1 Tahun 1967, tentang Pedoman Penyusunan Daftar
Perkuliahan, yang menjadi landasan yuridis bagi keberadaan mata kuliah
Pancasila di perguruan tinggi. Keberadaan mata kuliah Pancasila semakin kokoh
dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989, tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 39 ditentukan bahwa kurikulum
pendidikan tinggi harus memuat mata kuliah pendidikan Pancasila. Kemudian,
terbit peraturan pelaksanaan dari ketentuan yuridis tersebut, yaitu khususnya
pada pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun
1999, tentang Pendidikan Tinggi, jo. Pasal 1 SK Dirjen Dikti Nomor
467/DIKTI/Kep/1999, yang substansinya menentukan bahwa mata kuliah pendidikan
Pancasila adalah mata kuliah yang wajib ditempuh oleh seluruh mahasiswa baik
program diploma maupun program sarjana. Pada 2000, Dirjen Dikti mengeluarkan
kebijakan yang memperkokoh keberadaan dan menyempurnakan penyelenggaraan mata
kuliah pendidikan Pancasila, yaitu:
1)
SK Dirjen Dikti, Nomor 232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi,
2)
SK Dirjen Dikti, Nomor 265/Dikti/2000, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK), dan
3)
SK Dirjen Dikti, Nomor 38/Dikti/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Seiring
dengan terjadinya peristiwa reformasi pada 1998, lahirlah Ketetapan MPR, Nomor
XVIII/ MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), sejak
itu Penataran P-4 tidak lagi dilaksanakan.
Ditetapkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, kembali mengurangi
langkah pembudayaan Pancasila melalui pendidikan.
Dalam
Undang-Undang tersebut pendidikan Pancasila tidak disebut sebagai mata kuliah
wajib di perguruan tinggi sehingga beberapa universitas menggabungkannya dalam
materi pendidikan kewarganegaraan. Hasil survei Direktorat Pendidikan Tinggi
2004 yang dilaksanakan di 81 perguruan tinggi negeri menunjukkan kondisi yang
memprihatinkan, yaitu Pancasila tidak lagi tercantum dalam kurikulum mayoritas
perguruan tinggi. Kenyataan tersebut sangat mengkhawatirkan karena perguruan
tinggi merupakan wahana pembinaan calon-calon pemimpin bangsa dikemudian hari.
Namun, masih terdapat beberapa perguruan tinggi negeri yang tetap
mempertahankan mata kuliah pendidikan Pancasila, salah satunya adalah
Universitas Gajah Mada (UGM).
Dalam
rangka mengintensifkan kembali pembudayaan nilai-nilai Pancasila kepada
generasi penerus bangsa melalui pendidikan tinggi, pecinta negara proklamasi,
baik elemen masyarakat, pendidikan tinggi, maupun instansi pemerintah,
melakukan berbagai langkah, antara lain menggalakkan seminar-seminar yang
membahas tentang pentingnya membudayakan Pancasila melalui pendidikan, khususnya
dalam hal ini melalui pendidikan tinggi. Di beberapa kementerian, khususnya di
Kementerian Pendidikan Nasional diadakan seminar-seminar dan salah satu
output-nya adalah terbitnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Nomor 914/E/T/2011, pada tanggal 30 Juni 2011, perihal penyelenggaraan
pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Dalam surat
edaran tersebut, Dirjen Dikti merekomendasikan agar pendidikan Pancasila
dilaksanakan di perguruan tinggi minimal 2 (dua) SKS secara terpisah, atau
dilaksanakan bersama dalam mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan nama
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dengan bobot minimal 3 (tiga)
SKS
6.
Tantangan Pendidikan Pancasila
Abdulgani
menyatakan bahwa Pancasila adalah leitmotive dan leitstar, dorongan pokok dan
bintang penunjuk jalan. Tanpa adanya leitmotive dan leitstar Pancasila ini,
kekuasaan negara akan menyeleweng. Oleh karena itu, segala bentuk penyelewengan
itu harus dicegah dengan cara mendahulukan Pancasila dasar filsafat dan dasar
moral (1979:14). Agar Pancasila menjadi dorongan pokok dan bintang penunjuk
jalan bagi generasi penerus pemegang estafet kepemimpinan nasional, maka
nilai-nilai Pancasila harus dididikkan kepada para mahasiswa melalui mata
kuliah pendidikan Pancasila. Tantangannya ialah menentukan bentuk dan format
agar mata kuliah pendidikan Pancasila dapat diselenggarakan di berbagai program
studi dengan menarik dan efektif. Tantangan ini dapat berasal dari internal
perguruan tinggi, misalnya faktor ketersediaan sumber daya, dan spesialisasi
program studi yang makin tajam (yang menyebabkan kekurangtertarikan sebagian
mahasiswa terhadap pendidikan Pancasila). Adapun tantangan yang bersifat
eksternal, antara lain adalah krisis keteladanan dari para elite politik dan
maraknya gaya hidup hedonistik di dalam masyarakat.
R. SANRIA PRASETYO
UNIVERSITAS
MUHADI SETIABUDI
Komentar
Posting Komentar